Goresan Pena

Selasa, 19 Juli 2011

Islam dan Modernisasi

Kenyataan sejarah bahwa ummat Islam Indonesia sedari dulu menganut Mazhab
Syafi'i, namun saat ini setelah era reformasi semakin bertambah ummat Islam
Indonesia yang mengikuti Syiah, Mazhab Hanbali, I'tiqad (akidah)Ibnu Taimiyah,
Wahhabi, Manhaj Salaf (salafi/salfiyyah) yang inipun terpecah dalam beberapa
ustadz/pengajian yang mana antar merekapun saling "men-sesat-kan".

Dengan keadaan seperti ini, marilah kita intropeksi diri dengan
menimbang/belajar dari sebuah tulisan yang dibuat 38 tahun yang lampau,
tepatnya Januari 1972 oleh K.H. Sirajuddin Abbas. Terdapat pada, buku dengan
judul "40 Masalah Agama", jilid 2. Sedikit cuplikan dari halaman 205-278.

=========
Modernisasi Agama

Ulama-ulama Islam yang wafat pada abad ke 19 yang lalu seumpama, Syeikh Nawawi
Bantan, Syeikh Mahfuzh Termas, Syeikh Arsyad Banjar, Syeikh Abdu Samad
Palembang, Syekh Ahmada Khatib Minangkabau, Syeikh Sayid Ustman bin Yahya bin
Aqil Batawi, semuanya ini adalah ulama-ulama besar penganut-penganut yang gigih
dalam mazhab Syafi'i. Hal ini terbukti dengan karangan-karangan beliau yang
banyak sekali dalam bermacam-macam ilmu, khusus dalam fiqih Syafi'i.

Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan, bahwa agama Islam bermahzab Syafi'i
sudah lama benar dianut oleh ulama dan umat Islam, yakni sedari masuknya Islam
ke Indonesia.

Kemudian, pada tahun-tahun permulaan abad ke 20, berhembus ke Indonesia, angin
modernisasi agama, hendak merombak faham lama, hendak menukar mahzab Syafi'i
dengan mahzab lainnya bahkan berkehendak membuang mahzab sama sekali.

Perombakan dan pembaharuan itu sampai pada I'tiqad (aqidah). Faham Ahlussunah
wal Jama'ah yang dianut selama ini hendak ditukar dengan faham mu'tazilah,
faham syiah atau apa yang dinamai "faham salaf" atau apalah namanya asal baru,
asal berubah dari faham Ahlussunah wal Jama'ah.

Sesuai dengan peribahasa Arab "likulli saqith laqith" (tiap-tiap yang jatuh ada
saja pemungutnya), maka faham modernisasi agama itu disambut juga oleh beberapa
orang ulama dan beberapa kaum intelek di Indonesia, dan langsung
menyebar-luaskan ke tengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia ini.

Berdasarkan literatur yang ada, sumber gerakan faham modernisasi agama itu
adalah seorang ulama Islam di Damsyik, Siria, namanya IBNU TAIMIYAH (wafat 724
H).

Faham Ibnu Taimiyah ini disebarluaskan oleh muridnya bernama IBNU QAYIM AL
JAUZI, pengarang kitab "Zadul Ma'ad (wafat 751 H)

Faham dan pelajaran beliau-beliau ini tidak mendapat sambutan, baik di Siria
maupun di Mesir, karena banyak yang bertentangan dengan fatwa-fatwa ulama yang
lazim dipakai ketika itu.

Tetapi lama-kelamaan kira-kira 500 tahun kemudian, faham Ibnu Taimiyah disambut
oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H,) pembangun  gerakan Wahabi, di
gurun pasir tanah Arab.

Pelajaran Ibnu Taimiyah kemudian disambut pula di Mesir oleh Syeikh Muhammad
Abduh (lahir 1849 M dan wafat 1905 M)

Dan Muhammad Abduh dengan perantaraan muridnya Syeikh Muhammad Rasyid Redha
(wafat 1935 M) faham Ibnu Taimiyah disiarkan ke seluruh dunia, juga ke
Indonesia, dengan memakai sarana majalah "Al Manar" yang dipimpin oleh Muhammad
Rasyid Redha sendiri.

Sebagian lagi berpendapat bahwa faham modernisasi agama itu bersumber kepada
seorang Afghanistan, bernama Sayid Jamaluddin Al Afgani (wafat 1897M, 8 tahun
lebih awal dari Muhammad Abduh).

Sayid Jamaluddin Al Afgani ini adalah guru dari Muhammad Abduh. Ia seorang
"pemimpin politik", penganut faham Syi'ah (Zuhrul Islam, Juz I, hal 191).

Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa modernisasi agama seutuhnya adalah
dari Ibnu Taimiyah sedangkan modernisasi agama tambah politik dari Sayid
Jamaluddin al Afgani.

Gerakan modernisasi agama ini bukan saja dipelopori oleh ulama-ulama tetapi
juga oleh sebahagian kaum intelek dan penguasa-penguasa negara yang sudah
termakan pengajian Ibnu Taimiyah. Dalam hal ini bisa kita catat nama-nama
seperti, Mustafa Kemal Attaturk (Yahudi dari Dumamah), Sayid Ahmad, Jamauddin
Al Afgani, Mirza Gulam Ahmad, bahkan Bung Karno yang mengidolakan Mustafa Kemal.

Menurut K.H. Siradjuddin Abbas, bagi kita sesungguhnya tidak menolak seluruh
modernisasi. Modernisasi dianjurkan untuk bidang-bidang keduniaan yang belum
ada aturannya dari Allah dan Rasul. Namun dalam soal kegamaan, soal syariat,
soal ibadah, soal i'tiqad (aqidah) maka kita menolak sekuat-kuatnya akan
modernisasi. Agama adalah dari Allah dan Rasul, kita wajib menerima bagaimana
adanya, sebagai yang diajarkan Rasulullah.
Nabi Rasulullah bersabda: "Dari Anas bin Malik Rda, beliau berkata, Rasulullah
telah bersabda: Apabila ada sesuatu urusan duniamu maka kamu yang lebih tahu,
tetapi apabila dalam urusan agamamu maka Saya yang mengaturnya". (HR Imam Ahmad
bin Hanbal).
Agama tidaklah mengikuti zaman tetapi sebaliknya zaman yang harus tunduk kepada
agama.
Kalau agama dimodernisir dan disesuaikan dengan zaman maka akibatnya agama itu
akan hapus dengan sendirinya, karena tuntutan zaman itu berobah-obah terus dan
agama akan berobah pula sesuai dengan zaman itu.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda