Goresan Pena

Kamis, 11 Agustus 2011

Selasa, 19 Juli 2011

Hadits Tentang Cinta

Arti Sebuah Cinta
penulis Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
Syariah Aqidah 19 - November - 2003 20:43:49
Cinta bisa jadi merupakan kata yg paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yg bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita harta anak kendaraan rumah dan berbagai keni’matan dunia lain merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yg paling tinggi dan mulia adl cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.
Kita sering mendengar kata yg terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakan namun sulit utk mendefinisikannya. Terlebih utk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu seseorang dgn gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dgn gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan “Kami sama-sama cinta suka sama suka.” Karena alasan cinta seorang bapak membiarkan anak-anak bergelimang dlm dosa. Dengan alasan cinta pula seorang suami melepas istri hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tdk lagi menjadi tolok ukur. dlm keadaan seperti ini setan tampil mengibarkan bendera dan menabuh genderang penyesatan dgn mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yg dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad . Allah  berfirman:
“Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yg diingini yaitu: wanita-wanita anak-anak harta yg banyak dari jenis emas perak kuda pilihan binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yg baik.”
Rasulullah  dlm hadits dari shahabat Tsauban  mengatakan: ‘Hampir-hampir orang2 kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumun di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah  berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dlm hati kalian al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yg dimaksud dgn al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah  menjawab: ‘Cinta dunia dan takut mati.’
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dlm tafsir mengatakan: “Allah memberitakan dlm dua ayat ini tentang keadaan manusia kaitan dgn masalah lbh mencintai kehidupan dunia daripada akhirat dan Allah menjelaskan perbedaan yg besar antara dua negeri tersebut. Allah  memberitakan bahwa hal-hal tersebut dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkan di dlm hati-hati mereka semua berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikan sebagai tujuan terbesar dari cita-cita cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adl perhiasan yg sedikit dan akan hilang dlm waktu yg sangat cepat.”
Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit krn tdk bisa dijangkau dgn kalimat dan sulit diraba dgn kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tdk bisa didefinisikan dgn jelas bahkan bila didefinisikan tdk menghasilkan melainkan menambah kabur dan tdk jelas definisi adl ada cinta itu sendiri.”
Hakikat Cinta
Cinta adl sebuah amalan hati yg akan terwujud dlm lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dgn apa yg diridhai Allah mk ia akan menjadi ibadah. Dan sebalik jika tdk sesuai dgn ridha-Nya mk akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adl ibadah hati yg bila keliru menempatkan akan menjatuhkan kita ke dlm sesuatu yg dimurkai Allah yaitu kesyirikan.
Cinta kepada Allah
Cinta yg dibangun krn Allah akan menghasilkan kebaikan yg sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dlm Madarijus Salikin berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah mk ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Mereka berkata: “ ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’ ini adl isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda adl mengikuti Rasulullah  faidah dan buah adl kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tdk mengikuti Rasulullah  mk kecintaan Allah kepada kalian tdk akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaan mk mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. Rasulullah  bersabda dlm hadits yg diriwayatkan dari Anas bin Malik :
“Tiga hal yg barangsiapa ketiga ada pada diri niscaya dia akan mendapatkan manis iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lbh ia cintai daripada selain kedua dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintai melainkan krn Allah dan hendaklah dia benci utk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci utk dilemparkan ke dlm neraka.”
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab ada cinta ada sepuluh perkara:
Pertama membaca Al Qur’an menggali dan memahami makna-makna serta apa yg dimaukannya.
Kedua mendekatkan diri kepada Allah dgn amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga terus-menerus berdzikir dlm tiap keadaan.
Keempat mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolak nafsu.
Kelima hati yg selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala ni’mat-Nya.
Ketujuh tunduk hati di hadapan Allah .
Kedelapan berkhalwat bersama-Nya ketika Allah turun .
Kesembilan duduk bersama orang2 yg memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh menjauhkan segala sebab-sebab yg akan menghalangi hati dari Allah .
Cinta adl Ibadah
Sebagaimana telah lewat cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yg memiliki kedudukan tinggi dlm agama sebagaimana ibadah-ibadah yg lain. Allah  berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dlm hatimu.”
“Dan orang2 yg beriman lbh cinta kepada Allah.”
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yg Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”
Adapun dalil dari hadits Rasulullah  adl hadits Anas yg telah disebut di atas yg dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lbh dia cintai daripada selain keduanya.”
Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yg membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yg membagi menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dlm kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid menyatakan bahwa cinta ada empat macam:
Pertama cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yg dicintai-Nya dgn dalil ayat dan hadits di atas.
Kedua cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah berfirman:
“Dan di antara manusia ada yg menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.”
Ketiga cinta maksiat.
Yaitu cinta yg akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yg diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yg diperintahkan-Nya. Allah berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dgn kecintaan yg sangat.”
Keempat cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak keluarga diri harta dan perkara lain yg dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah  berfirman:
“Ketika mereka berkata: ‘Yusuf dan adik lbh dicintai oleh bapak kita daripada kita.”
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban mk berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lbh cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih mk cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.
Buah cinta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  mengatakan: “Ketahuilah bahwa yg menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta takut dan harapan. Dan yg paling kuat adl cinta dan cinta itu sendiri merupakan tujuan krn akan didapatkan di dunia dan di akhirat.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di  menyatakan: “Dasar tauhid dan ruh adl keikhlasan dlm mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabb juga sempurna.”
Bila kita dita bagaimana hukum cinta kepada selain Allah? mk kita tdk boleh mengatakan haram dgn spontan atau mengatakan boleh secara global akan tetapi jawaban perlu dirinci.
Pertama bila dia mencintai selain Allah lbh besar atau sama dgn cinta kepada Allah mk ini adl cinta syirik hukum jelas haram.
Kedua bila dgn cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dlm maksiat mk cinta ini adl cinta maksiat hukum haram.
Ketiga bila merupakan cinta tabiat mk yg seperti ini diperbolehkan.
Wallahu a’lam. 

Islam dan Modernisasi

Kenyataan sejarah bahwa ummat Islam Indonesia sedari dulu menganut Mazhab
Syafi'i, namun saat ini setelah era reformasi semakin bertambah ummat Islam
Indonesia yang mengikuti Syiah, Mazhab Hanbali, I'tiqad (akidah)Ibnu Taimiyah,
Wahhabi, Manhaj Salaf (salafi/salfiyyah) yang inipun terpecah dalam beberapa
ustadz/pengajian yang mana antar merekapun saling "men-sesat-kan".

Dengan keadaan seperti ini, marilah kita intropeksi diri dengan
menimbang/belajar dari sebuah tulisan yang dibuat 38 tahun yang lampau,
tepatnya Januari 1972 oleh K.H. Sirajuddin Abbas. Terdapat pada, buku dengan
judul "40 Masalah Agama", jilid 2. Sedikit cuplikan dari halaman 205-278.

=========
Modernisasi Agama

Ulama-ulama Islam yang wafat pada abad ke 19 yang lalu seumpama, Syeikh Nawawi
Bantan, Syeikh Mahfuzh Termas, Syeikh Arsyad Banjar, Syeikh Abdu Samad
Palembang, Syekh Ahmada Khatib Minangkabau, Syeikh Sayid Ustman bin Yahya bin
Aqil Batawi, semuanya ini adalah ulama-ulama besar penganut-penganut yang gigih
dalam mazhab Syafi'i. Hal ini terbukti dengan karangan-karangan beliau yang
banyak sekali dalam bermacam-macam ilmu, khusus dalam fiqih Syafi'i.

Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan, bahwa agama Islam bermahzab Syafi'i
sudah lama benar dianut oleh ulama dan umat Islam, yakni sedari masuknya Islam
ke Indonesia.

Kemudian, pada tahun-tahun permulaan abad ke 20, berhembus ke Indonesia, angin
modernisasi agama, hendak merombak faham lama, hendak menukar mahzab Syafi'i
dengan mahzab lainnya bahkan berkehendak membuang mahzab sama sekali.

Perombakan dan pembaharuan itu sampai pada I'tiqad (aqidah). Faham Ahlussunah
wal Jama'ah yang dianut selama ini hendak ditukar dengan faham mu'tazilah,
faham syiah atau apa yang dinamai "faham salaf" atau apalah namanya asal baru,
asal berubah dari faham Ahlussunah wal Jama'ah.

Sesuai dengan peribahasa Arab "likulli saqith laqith" (tiap-tiap yang jatuh ada
saja pemungutnya), maka faham modernisasi agama itu disambut juga oleh beberapa
orang ulama dan beberapa kaum intelek di Indonesia, dan langsung
menyebar-luaskan ke tengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia ini.

Berdasarkan literatur yang ada, sumber gerakan faham modernisasi agama itu
adalah seorang ulama Islam di Damsyik, Siria, namanya IBNU TAIMIYAH (wafat 724
H).

Faham Ibnu Taimiyah ini disebarluaskan oleh muridnya bernama IBNU QAYIM AL
JAUZI, pengarang kitab "Zadul Ma'ad (wafat 751 H)

Faham dan pelajaran beliau-beliau ini tidak mendapat sambutan, baik di Siria
maupun di Mesir, karena banyak yang bertentangan dengan fatwa-fatwa ulama yang
lazim dipakai ketika itu.

Tetapi lama-kelamaan kira-kira 500 tahun kemudian, faham Ibnu Taimiyah disambut
oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H,) pembangun  gerakan Wahabi, di
gurun pasir tanah Arab.

Pelajaran Ibnu Taimiyah kemudian disambut pula di Mesir oleh Syeikh Muhammad
Abduh (lahir 1849 M dan wafat 1905 M)

Dan Muhammad Abduh dengan perantaraan muridnya Syeikh Muhammad Rasyid Redha
(wafat 1935 M) faham Ibnu Taimiyah disiarkan ke seluruh dunia, juga ke
Indonesia, dengan memakai sarana majalah "Al Manar" yang dipimpin oleh Muhammad
Rasyid Redha sendiri.

Sebagian lagi berpendapat bahwa faham modernisasi agama itu bersumber kepada
seorang Afghanistan, bernama Sayid Jamaluddin Al Afgani (wafat 1897M, 8 tahun
lebih awal dari Muhammad Abduh).

Sayid Jamaluddin Al Afgani ini adalah guru dari Muhammad Abduh. Ia seorang
"pemimpin politik", penganut faham Syi'ah (Zuhrul Islam, Juz I, hal 191).

Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa modernisasi agama seutuhnya adalah
dari Ibnu Taimiyah sedangkan modernisasi agama tambah politik dari Sayid
Jamaluddin al Afgani.

Gerakan modernisasi agama ini bukan saja dipelopori oleh ulama-ulama tetapi
juga oleh sebahagian kaum intelek dan penguasa-penguasa negara yang sudah
termakan pengajian Ibnu Taimiyah. Dalam hal ini bisa kita catat nama-nama
seperti, Mustafa Kemal Attaturk (Yahudi dari Dumamah), Sayid Ahmad, Jamauddin
Al Afgani, Mirza Gulam Ahmad, bahkan Bung Karno yang mengidolakan Mustafa Kemal.

Menurut K.H. Siradjuddin Abbas, bagi kita sesungguhnya tidak menolak seluruh
modernisasi. Modernisasi dianjurkan untuk bidang-bidang keduniaan yang belum
ada aturannya dari Allah dan Rasul. Namun dalam soal kegamaan, soal syariat,
soal ibadah, soal i'tiqad (aqidah) maka kita menolak sekuat-kuatnya akan
modernisasi. Agama adalah dari Allah dan Rasul, kita wajib menerima bagaimana
adanya, sebagai yang diajarkan Rasulullah.
Nabi Rasulullah bersabda: "Dari Anas bin Malik Rda, beliau berkata, Rasulullah
telah bersabda: Apabila ada sesuatu urusan duniamu maka kamu yang lebih tahu,
tetapi apabila dalam urusan agamamu maka Saya yang mengaturnya". (HR Imam Ahmad
bin Hanbal).
Agama tidaklah mengikuti zaman tetapi sebaliknya zaman yang harus tunduk kepada
agama.
Kalau agama dimodernisir dan disesuaikan dengan zaman maka akibatnya agama itu
akan hapus dengan sendirinya, karena tuntutan zaman itu berobah-obah terus dan
agama akan berobah pula sesuai dengan zaman itu.

Hukum Hipnotis

HIPNOTIS menurut Al Qur'an dan Sunnah. Apakah itu termasuk musyrik???
Jazakallahu khairan
Berikut ini jawaban para ulama dalam komisi riset dan fatwa tentang hukum Hipnotis, semoga bermanfaat
Fatwa Lajnah Da’imah (Komisi Khusus Bidang Riset Ilmiah dan Fatwa) Saudi Arabia
Pertanyaan
Apa hukumnya hipnotis?
dimana dengan  kemampuan hipnotis tersebut, pelakunya dapat menerawangkan fikiran korban, lalu mengendalikan dirinya dan bisa membuatnya meninggalkan sesuatu yang diharamkan, sembuh dari penyakit tegang otot atau melakukan pebuatan yang dimintanya tersebut?

Jawaban Lajnah Da’imah sebagai berikut:
Pertama : (pendahuluan)
Ilmu tentang hal-hal yang ghaib merupakan hak mutlak Allah Ta'ala , tidak ada seorang pun dari makhluk-Nya yang mengetahui, baik itu jin atau pun selain mereka, terkecuali Allah mengabarkan hal gaib tersebut kepada orang yang dikehedaki-Nya seperti kepada para malaikat atau para rasul-Nya berupa wahyu.
Dalam hal ini, Allah Ta'ala berfirman.

"Katakanlah. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah" [An-Naml : 65]

Dia juga berfirman berkenaan dengan Nabi Sulaiman dan kemampuannya menguasai bangsa jin.

"Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya ,mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan" [Saba : 14]

Demikian pula firman-Nya.

"(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia pun tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan dibelakangnya" [Al-Jin : 26-27]

Dalam sebuah hadits yang shahih dari An-Nuwas bin Sam'an Radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Bila Allah ingin memerintahkan suatu hal, Dia pun menyampaikan melalui perantaraan wahyu. lalu langit menjadi bergemuruh –dalam riwayat lain : bergemuruh yang amat sangat seperti disambar petir- karena rasa takut kepada Allah. Bila hal itu didengarkan oleh para penghuni langit, mereka pun pingsan dan bersimpuh sujud kepada Allah. Lalu yang pertama siuman adalah Jibril, maka Allah menyampaikan wahyu yang dikehendaki Nya kepada Jibril,
lalu Jibril pun berkata, “Allah telah berfirman yang haq dan Dialah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar". Semua para malaikat pun mengatakan hal yang sama seperti yang telah dikatakan oleh Jibril. Lantas sampailah wahyu melalui Jibril hingga kepada apa yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala terhadapnya" [1]

Di dalam hadits Shahih yang lain dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda :

"Bila Allah telah memutuskan suatu perkara dilangit, para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya sebagai (refleksi) ketundukan terhadap firman-Nya, seakan-akan seperti rantai yang di pukulkan diatas batu besar yang licin. apabila rasa takut itu sudah hilang dari hati mereka, mereka bertanya “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?”. Mereka yang lain menjawab, “ Allah telah berfirman dengan yang Hak dan Dialah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”.
Lalu kabar tersebut didengar oleh para pencuri berita dilangit, dan para pencuri berita langit dengan lainnya itu seperti ini, yang satu di atas yang lainnya (estafet). (Sufyan, periwayat hadits ini menggambarkan dengan tangannya ; merenggangkan jemari tangan kanannya, menegakkan sebagian ke atas sebagian yang lain).
Bisa jadi pencuri langit tersebut mendengar sebagian percakapan (para malaikat) kemudian menyampaikan berita tersebut kepada yang dibawahnya dan seterusnya sampai ketelinga para dukun dan tukang sihir,
Atau bisa jadi para pencuri langit terbakar oleh panah api sebelum bisa menyampaikan berita, atau terbakar setelah menyampaikannya, maka para dukunpun berdusta dengan seratus kedustaan,  maka mereka pun berkata, 'Bukankah dia telah memberitahukan kepada kita pada hari anu dan anu terjadi begini dan begitu,dan ternyata benar " dan dukunpun dipercaya hanya karena sedikit berita yang didengar dari pencuri kabar dilangit.” [2]

Maka, tidak boleh meminta pertolongan kepada jin dan para makhluk selain mereka untuk mengetahui hal-hal ghaib, baik dengan cara memohon dan mendekatkan diri kepada mereka, member sesajen ataupun lainnya. Bahkan itu adalah perbuatan syirik karena ia merupakan jenis ibadah padahal Allah telah memberitahukan kepada para hamba-Nya agar mengkhususkan ibadah hanya untuk-Nya semata, yaitu agar mereka mengatakan, "Hanya kepada-Mu kami menyembah (beribadah) dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan".

Juga telah terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata kepada Ibnu Abbas, "Bila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah" [3]


Kedua : (hukum hipnotis)
Hipnotis merupakan salah satu jenis sihir (perdukunan) yang mempergunakan jin sehingga si pelaku dapat menguasai diri korban, lalu berbicaralah dia melalui lisannya dan mendapatkan kekuatan untuk melakukan sebagian pekerjaan setelah dirinya dikuasainya. Hal ini bisa terjadi, jika si korban benar-benar serius bersamanya dan patuh. Ini adalah imbalan untuk para penghipnotis karena perbuatan syirik yang mereka persembahkan kepada jin tersebut..
Jin tersebut membuat si korban berada di bawah kendali si pelaku untuk melakukan pekerjaan atau berita yang dimintanya. Bantuan tersebut diberikan oleh jin bila ia memang serius melakukannya bersama si pelaku.

Atas dasar ini, menggunakan hipnotis dan menjadikannya sebagai cara atau sarana untuk menunjukkan lokasi pencurian, benda yang hilang, mengobati pasien atau melakukan pekerjaan lain melalui si pelaku ini tidak boleh hukumnya. Bahkan, ini termasuk syirik karena alasan di atas dan karena hal itu termasuk berlindung kepada selain Allah terhadap hal yang merupakan sebab-sebab biasa dimana Allah Ta'ala menjadikannya dapat dilakukan oleh para makhluk dan membolehkannya bagi mereka.

Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam

[Kumpulan Fatwa Lajnah Daimah, Juz 11, hal-400-402]

________
Footnotes
[1]. As-Sunnah, Ibnu Abi Ashim, hal. 515; Shahih Ibnu Khuzaimah, kitab At-Tauhid, Juz I hal. 348-349, Al-Asma wa Ash-Shifat,Al-Baihaqy, hal.435, dan pengarang selain mereka. Dan didalam sanadnya terdapat periwayat bernama Nu'aim bin Hammad, dia seoran Mudallis (suka menyamarkan berita) dan dia meriwayatkannya dengan metode periwayatan an-an (mengatakan : dari si fulan, dari si fulan)
[2]. Shahih Al-Bukhari, Kitab At-Tafsir, no. 4701
[3]. HR Ahmad, no. 3699, 273, 2804 –versi analisis Syaikh Ahmad Syakir-, Sunan At-Turmudzi, kitab Shifah Al-Qiyamah, no. 2518

 
Kesimpulan diatas:
  1. Perkara ghaib hanyalah milik Allah, dan tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali melalui perantaraan wahyu.
  2. Para dukun, tukang sihir dan para jin saling tolong menolong untuk melakukan kesyirikan. Dan Jin mengabarkan berita masa depan yang dicuri dari langit yang bisa jadi dia terbakar sebelum bisa menyampaikannya, dan para tukang sihir ataupun dukun berbohong dengan seribu kebohongan. Namun, perkataan mereka dipercaya hanya karena kebetulan pernah satu kali benar dikarenakan berita langit yang sampai kepada mereka.
  3. Hukum hipnotis yang menggunakan para jin (ilmu gaib dan supra natural), walaupun hasilnya untuk pengobatan ataupun meninggalkan hal yang haram (mis: narkoba, dll) adalah termasuk bentuk kesyirikan. Maka hal ini terlarang.

Catatan tambahan :
Adapun hipnoterapi yang dikembangkan oleh para ahli psikologi dengan mengembangkan teori otak kanan (alam bawah sadar) yang digunakan untuk terapi para pasien maka hal itu tidak termasuk, karena itu adalah ilmu yang ilmiah yang diperbolehkan dan dikembangkan secara logis dengan penelitian. Terapi yang dilakukan para ilmuwan psikolog terhadap para pasien berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh para tukang hipnotis (baca: tukang sihir).
Terapi ilmiah menggunakan teknik-teknik tertentu yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, dan bisa dijabarkan secara logis. Walaupun secara istilah disebut hipnoterapi (terapi hipnotis) namun secara praktek berbeda dengan hipnotis supranatural. Maka, hukumnya pun terkait pada hakekat bukan pada istilahnya.
Peringatan:
Adapun kebanyakan praktek hipnotis yang berkembang dimasyarakat adalah bentuk yang pertama yang termasuk kedalam kategori sihir, yang menggunakan bantuan Jin. Mereka membungkus perbuatan syirik mereka dengan teori-teori ilmiah otak kanan dan kiri, dengan beragam bukti untuk mengelabui kebanyakan orang, namun pada hakekatnya adalah praktek sihir. Jadi kita perlu hati-hati dan mencermati dengan seksama.
Wallahu ‘Alam

Senin, 11 Juli 2011

kebersihan sebagian dari iman,,, bukan hadis nabi???

Ungkapan ”Kebersihan Sebagian Dari Iman” (Arab : an-nazhaafatu minal iimaan) sebenarnya bukanlah hadits Nabi SAW, namun hanya sekedar peribahasa atau kata mutiara yang baik atau Islami.
Ringkasnya, jika ditinjau apakah ungkapan itu hadits Nabi SAW atau bukan, jawabnya bukan hadits Nabi SAW. Sebab tidak terdapat hadits berbunyi demikian dalam berbagai kitab hadits yang ada, sejauh pengetahuan kami. Namun kalau ditinjau apakah ungkapan itu Islami atau tidak, jawabnya Islami. Sebab ungkapan itu didukung oleh sebuah hadits hasan seperti yang akan kami sebutkan.
Memang, ada hadits sahih dari Nabi SAW yang mirip dengan kalimat ”Kebersihan Sebagian Dari Iman”. Hadits itu adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi,”Ath-thahuuru syatrul iimaan…” (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, II/57; Imam Al-Qazwini, Bingkisan Seberkas 77 Cabang Iman (Terj. Mukhtashar Syu’abul Iman Li Al-Imam Baihaqi), hal. 66-67).
Namun arti hadits Nabi tersebut adalah,”Bersuci [thaharah] itu setengah daripada iman….” Kata ath-thahuuru dalam hadits itu artinya tiada lain adalah bersuci (ath-thaharah), bukan kebersihan (an-nazhafah), meskipun patut diketahui ath-thaharah secara makna bahasa artinya memang kebersihan [an-nazhaafah] (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/6). Tetapi dalam ushul fiqih terdapat kaidah bahwa arti asal suatu kata dalam al-Qur`an dan Al-Hadits adalah arti terminologis (makna syar’i), bukan arti etimologis (makna bahasa). Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz III hal. 174 menyebutkan kaidah ushul fiqih yang berbunyi :
Al-Ashlu fi dalalah an-nushush asy-syar’iyah huwa al-ma’na asy-syar’iy
“Arti asal nash-nash syariah [Al-Qur`an dan As-Sunnah] adalah makna syar’i.”
Karenanya hadis Nabi SAW di atas hendaknya diartikan “Bersuci itu setengah daripada iman”, dan bukannya ”Kebersihan itu sebagian daripada iman.”
Suci dan bersih itu berbeda. Suci (thahir) adalah keadaan tanpa najis dan hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil, pada badan, pakaian, tempat, air, dan sebagainya. Bersuci (thaharah) adalah aktivitas seseorang untuk mencapai kondisi suci itu, misalnya berwudhu, tayammum, atau mandi junub. (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/6). Sedang bersih (nazhif) adalah lawan dari kotor yaitu keadaan sesuatu tanpa kotoran. Sesuatu yang kotor bisa saja suci, meski ini tentu kurang afdhol. Sajadah yang lama tidak dicuci adalah kotor. Tapi tetap disebut suci selama kotoran yang menempel hanya sekedar debu atau daki, bukan najis seperti kotoran binatang.
Demikian pula sesuatu yang bersih juga tidak otomatis suci. Seorang muslim yang berhadats besar (misal karena haid atau berhubungan seksual) bisa saja tubuhnya bersih sekali karena mandi dengan sabun anti kuman atau desinfektan. Tapi selama dia tidak meniatkan mandi junub, dia tetaplah tidak suci alias masih berhadas besar.
Walhasil, suci atau bersuci berkaitan dengan keyakinan seorang muslim, yang sifatnya tidak universal. Maksudnya hanya menjadi pandangan khas di kalangan umat Islam. Sedang bersih atau kebersihan berkaitan dengan fakta empiris yang universal, yaitu diakui baik oleh umat Islam maupun umat non Islam.
Kembali ke masalah hadits di atas. Kesimpulannya, yang ada adalah hadits Nabi SAW yang berarti ”Bersuci Adalah Sebagian Dari Iman”, dan bukan ” Kebersihan Sebagian Dari Iman.”
Namun demikian, kalimat ” Kebersihan Sebagian Dari Iman” merupakan ungkapan yang baik (Islami), karena didukung sebuah hadits yang menurut Imam Suyuthi berstatus hasan, yakni sabda Nabi SAW :
”Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi.” (HR. Tirmidzi) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, I/70; Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, [Jakarta : GIP], cetakan keenam, 1993, hal. 311).
Hadits di atas menunjukkan bahwa kebersihan (an-nazhafah) merupakan sesuatu yang dicintai Allah SWT. Maka dari itu ungkapan ” Kebersihan Sebagian Dari Iman” kami katakan sebagai ungkapan yang baik atau Islami karena ada dasarnya dalam Islam yaitu hadits riwayat Tirmidzi di atas. Ungkapan itu dapat diberi arti, bahwa menjaga kebersihan segala sesuatu merupakan bukti atau buah keimanan seorang muslim, karena dia telah beriman bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Mahabersih (nazhiif). Wallahu a’lam.

hukum merokok

Terdapat khilafiyah hukum rokok menjadi 3 (tiga) versi. Pertama, haram. Antara lain pendapat Muhammad bin Abdul Wahab, Abdul Aziz bin Baz, Yusuf Qaradhawi, Sayyid Sabiq, dan Mahmud Syaltut. Kedua, makruh. Antara lain pendapat Ibnu Abidin, Asy-Syarwani, Abu Sa’ud, dan Luknawi. Ketiga, mubah. Antara lain pendapat Syaukani, Taqiyuddin Nabhani, Abdul Ghani Nablusi, Ibnu Abidin, dan pengarang Ad-Durrul Mukhtar. (Wizarat al-Awqaf Al-Kuwaitiyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, Juz 10, Bab “At-Tabghu”; Abdul Karim Nashr, Ad-Dukhan Ahkamuhu wa Adhraruhu, hal. 23; Ali Abdul Hamid, Hukm ad-Din fi al-Lihyah wa At-Tadkhin, hal. 42).
Menurut kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah yang memubahkan, kecuali bagi individu tertentu yang mengalami dharar (bahaya) tertentu, maka hukumnya menjadi haram bagi mereka.
Rokok hukum asalnya mubah, karena rokok termasuk benda (al-asy-ya`) yang dapat dihukumi kaidah fiqih Al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim (hukum asal benda mubah selama tak ada dalil yang mengharamkan). (Ibnu Hajar ‘Asqalani, Fathul Bari, 20/341; Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazhair, hal. 60; Syaukani, Nailul Authar, 12/443). Maka rokok mubah karena tak ada dalil khusus yang mengharamkan tembakau (at-tabghu; at-tanbak).
Namun bagi orang tertentu, rokok menjadi haram jika menimbulkan dharar (bahaya) tertentu, sedang rokok itu sendiri tetap mubah bagi selain mereka. Dalilnya kaidah fiqih Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah idza kaana dhaarran aw mu`addiyan ilaa dhararin hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Setiap kasus dari sesuatu (benda/perbuatan) yang mubah, jika berbahaya atau mengantarkan pada bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan, sedangkan sesuatu itu tetap mubah). (Taqiyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 3/457). Berdasarkan ini, rokok haram hanya bagi individu tertentu yang terkena bahaya tertentu, semisal kanker jantung atau paru-paru. Namun tak berarti rokok lalu haram seluruhnya, tetapi tetap mubah bagi selain mereka.
Kriteria bahaya yang menjadikan rokok haram ada 2 (dua). Pertama, jika mengakibatkan kematian atau dikhawatirkan mengakibatkan kematian. Bahaya semacam ini haram karena termasuk bunuh diri (QS An-Nisaa` : 29). Kedua, jika mengakibatkan seseorang tak mampu melaksanakan berbagai kewajiban, semisal bekerja, belajar, sholat, haji, jihad, berdakwah, dll. Bahaya ini diharamkan berdasar kaidah fiqih al-wasilah ila al-haram haram (Segala perantaraan yang mengantarkan pada yang haram, hukumnya haram). (M. Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah, 2/155).
Jika bahaya belum sampai pada kriteria di atas, maka rokok tetap mubah. Namun lebih baik meninggalkan rokok. Sebab merokok (tadkhin) dalam kondisi ini (tak menimbulkan kematian atau meninggalkan yang wajib), adalah tindakan menimbulkan bahaya pada diri sendiri yang hukumnya makruh.
Dalilnya, Nabi SAW pernah ditanya tentang seorang lelaki yang bernadzar akan berdiri di terik matahari, dan tidak akan duduk, berbuka pada siang hari (berpuasa), berteduh, dan berbicara. Nabi SAW bersabda,”Perintahkan ia untuk berteduh, berbicara, dan duduk, namun ia boleh menyempurnakan puasanya.” (HR Bukhari). Dalil ini menunjukkan larangan menimbulkan bahaya pada diri sendiri. Namun karena larangan ini tidak tegas (jazim), maka hukumnya makruh, bukan haram. (M. Husain Abdullah, ibid, 2/147). Wallahu a’lam

Parfum Beralkohol.... najiskah??

Parfum beralkohol adalah setiap parfum yang mengandung alkohol (etanol). Banyak orang mengira kadar alkohol dalam parfum lebih sedikit dibanding kadar parfum murninya. Padahal faktanya kadar alkoholnya lebih banyak. Menurut Al-Dhumairi, umumnya kadar parfum murninya hanya 10 % sedang kadar alkoholnya 90 %. Paling banyak kadar parfum murninya hanya sekitar 25 %. Jadi, sebutan yang tepat sebenarnya alkohol berparfum, bukan parfum beralkohol. (Abu Malik Al-Dhumairi, Fathul Ghafur fi Isti’mal Al-Kuhul Ma’a al-‘Uthur, hal. 14-15).
Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menggunakan parfum beralkohol. Sebagian ulama tidak membolehkan, karena menganggap alkohol najis. Sedang sebagian lainnya membolehkan, karena tak menganggapnya najis. Perbedaan pendapat tentang kenajisan alkohol berpangkal pada perbedaan pendapat tentang khamr, apakah ia najis atau tidak.
Khamr itu sendiri dalam pengertian syar’i adalah setiap minuman yang memabukkan (kullu syaraabin muskirin) (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hal. 25). Di masa modern kini telah diketahui, unsur yang membuat khamr memabukkan adalah alkohol (etanol). Maka dalam pengertian teknis kimia, khamr didefinisikan sebagai setiap minuman yang mengandung alkohol (etanol) baik kadarnya sedikit maupun banyak. (Abu Malik Al-Dhumairi, ibid., hal. 13).
Menurut jumhur (mayoritas) fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Taimiyah, khamr adalah najis. Namun sebagian ulama, seperti Imam Laits bin Sa’ad, Muzani, dan Rabi’ah Al-Ra`yi, menganggap khamr itu suci, tidak najis. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1/260 & 7/427; Imam Al-Qurthubi, Ahkamul Qur`an, 3/52; Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, 1/18).
Ulama yang menganggap khamr najis antara lain berdalil dengan ayat (artinya),“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji (rijsun) termasuk perbuatan syaitan.” (QS Al-Ma`idah : 90). Ayat ini menunjukan kenajisan khamr, karena Allah SWT menyebut khamr merupakan rijsun, yang berarti najis. Karena itu, menurut ulama Hanafiyah pakaian yang tersiram khamr seukuran koin dirham tidak boleh digunakan sholat karena dianggap terkena najis. (Wahbah Zuhaili, ibid., 7/427).
Namun ulama yang menganggap khamr tak najis membantah pendapat tersebut. Menurut mereka kata rijsun dalam ayat tersebut artinya adalah najis secara maknawi, bukan najis secara hakiki. Artinya khamr tetap dianggap zat suci, bukan najis, meskipun memang haram untuk diminum. Karena zat yang haram tak selalu najis, meski zat yang najis pasti haram. (Tafsir Al-Manar, 58/7; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 1/36; Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, 1/19).
Adapun menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa khamr itu najis. Dalilnya memang bukan ayat tentang khamr (QS Al-Ma`idah : 90), namun hadits Nabi SAW dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani RA. Dia pernah bertanya kepada Nabi SAW,”Kami bertetangga dengan Ahli Kitab sedang mereka memasak babi dalam panci-panci mereka dan meminum khamr dalam bejana-bejana mereka.” Nabi SAW menjawab,”Jika kamu dapati wadah lainnya, makan makan dan minumlah padanya. Jika tidak kamu dapati wadah lainnya, cucilah wadah-wadah mereka dengan air dan gunakan untuk makan dan minum.” (HR Ahmad & Abu Dawud, dengan isnad shahih).(Subulus Salam, 1/33; Nailul Authar, hal. 62).
Hadits di atas menunjukkan kenajisan khamr, sebab Nabi SAW tidak memerintahkan untuk mencuci wadah mereka dengan air, kecuali karena khamr itu najis. Ini diperkuat dengan riwayat Ad-Daruquthni, bahwa Nabi SAW bersabda,”maka cucilah wadah-wadah mereka dengan air karena air itu akan menyucikannya.” (farhadhuuhaa bil-maa`i fa-inna al-maa`a thahuuruhaa) (Mahmud Uwaidhah, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Shalah, 1/45).
Kesimpulannya, alkohol (etanol) itu najis karena khamr itu najis. Maka, parfum beralkohol tidak boleh digunakan karena najis. Wallahu a’lam.

Jumat, 24 Juni 2011

Renungan Kehidupan

RENUNGAN........

Setelah  sholat malam…, ditengah keheningan malam…coba diri ini merenung…tentang :  1.Kepala kita! Apakah ia sudah kita tundukkan, rukukkan dan sujudkan dengan segenap kepasrahan seorang hamba yang  tiada daya di hadapan Allah Yang Maha Perkasa, atau ia tetap tengadah dengan segenap keangkuhan, kecongkakan dan kesombongan seorang manusia?  2. Mata kita! Apakah ia sudah kita gunakan untuk menatap keindahan dan keagungan ciptaan-ciptaan Allah Yang Maha Kuasa, atau kita gunakan untuk melihat segala pemandangan dan kemaksiatan yang dilarang?  3. Telinga Kita! Apakah ia sudah kita gunakan untuk mendengarkan suara adzan, bacaan Al Qur’an, seruan kebaikan, atau kita gunakan utk mendengarkan suara-suara yang sia-sia tiada bermakna?  4. Hidung Kita! Apakah sudah kita gunakan untuk mencium sajadah yang terhampar di tempat sholat, mencium anak-anak tercinta serta mencium kepala anak-anak yatim piatu  yang sangat kehilangan kedua orangtuanya dan sangat mendambakan cinta bunda dan ayahnya?  5. Mulut kita! Apakah sudah kita gunakan untuk mengatakan kebenaran dan kebaikan, nasehat-nasehat bermanfaat serta kata-kata bermakna atau kita gunakan untuk mengatakan kata-kata tak berguna dan berbisa, mengeluarkan tahafaul lisan alias penyakit lisan seperti: bergibah, memfitnah, mengadu domba, berdusta bahkan menyakiti hati sesama?  6. Tangan Kita! Apakah sudah kita gunakan utk bersedekah kepada dhuafa, membantu sesama yang kena musibah, membantu sesama yang butuh bantuan, mencipta karya yang berguna bagi ummat atau kita gunakan untuk mencuri, korupsi, menzalimi orang lain serta merampas hak-hak serta harta orang yang tak berdaya?  7. Kaki Kita! Apakah sudah kita gunakan untuk melangkah ke tempat ibadah, ke tempat menuntut ilmu bermanfaat, ke tempat-tempat pengajian yang kian mendekatkan perasaan kepada Allah Yang Maha Penyayang atau kita gunakan untuk melangkah ke tempat maksiat dan kejahatan?  8. Dada Kita! Apakah didalamnya tersimpan perasaan yang lapang, sabar, tawakal dan keikhlasan serta perasaan selalu bersyukur kepada Allah Yang Maha Bijaksana, atau di dalamnya tertanam ladang jiwa yang tumbuh subur daun-daun takabur, biji-biji bakhil, benih iri hati dan dengki serta pepohonan berbuah riya?  9. Perut kita! Apakah didalamnya diisi oleh makanan halal dan makanan yang diperoleh dengan cara yang halal sehingga semua terasa nikmat dan barokah. Atau didalamnya diisi oleh makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak halal, dengan segala ketamakan dan kerakusan  kita?  10. Diri kita! Apakah kita sering tafakur, tadabur, dan selalu bersyukur atas karunia yang kita terima dari Allah Yang Maha Perkasa?  Wallahu’alam bishshawab wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Gusti Allah Tidak Ndeso

"GUSTI ALLAH TIDAK NDESO"
Gusti Allah Tidak “nDeso”
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun.
“Cak Nun,”
kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan
tiba-tiba sampeyan
menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu:
pergi ke masjid untuk
shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar
tukang becak miskin ke
rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?”
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si
penanya.
“Ah, mosok Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun. “Kalau saya
memilih
shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak
ngajak-ngajak, ” katanya
lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga
orang yang
memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.
Bagi kita
yang menjumpai orang yang saat itu juga harus
ditolong, Tuhan tidak
berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang
kecelakaan itu.
Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau
menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau
menegur orang yang
kesepian, Akulah yang kesepian itu.Kalau engkau memberi
makan
orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka
yang mana dari tiga
orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca
al-quran, membangun
masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal
al-quran, menganjurkan
hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan
mengobarkan semangat
permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran,
tapi suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”
Kalau
saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau
korupsi uang negara,
itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang
rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi
menginjak-injaknya. Kalau
korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi
menginjak Tuhan. Sedang
orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih
sayang, itulah orang
yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat
shalatnya. Standar
kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya
dia hadir di kebaktian
atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output
sosialnya : kasih
sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan
dengan orang lain,
memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti
shalat, ikut misa, atau
ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan
memiliki
perilaku yang santun dan
berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah
sikap. Semua agama
tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih
sesama. Bila kita
cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian,
ikut misa, datang ke
pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang
beragama. Tetapi, bila
saat bersamaan kita tidak
mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan
anak-anak terlantar,
hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari
kesalehan personalnya,
melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan
pribadi, tapi
kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa
menggembirakan
tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati
orang lain, meski beda
agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan
social pada
kaum
mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan
tidak mengambil yang
bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan
jiwa sosial tinggi.
Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid,
sementara beberapa
meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. ~

Kamis, 09 Juni 2011

Teologi Cinta


Teologi Cinta Rasulullah SAW.


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اِنَّ الحَمْدَللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ. نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِن سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، ٍمَنْ يَهْدِهِ الله ُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِكَ لَهُ، وَاَشْهَدُ اَنَّ محَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا محَمَّدٌ وَعَلَى آلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانِ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اُصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى : يَا أَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا الله َ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى : يَاأَ يُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقوْا اللهَ الَّذِيْ تَسَائِلُوْنَ بِهِ وَالأَرْحَامَ اِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
Warga Binaan Yang di muliakan Allah…
Dalam suasana keceriaan dan kebahagiaan ini, marilah kita pupuk keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. dan Rasulnya Muhammad SAW. dengan jalan tetap menjaga syari’at dan mengimplementasikannya dalam hidup dan kehidupan. Menjalankan segala perintah – Nya dan menjauhi larangan – Nya, berakhlakul karimah, senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar dengan penuh kasih sayang.
Artinya : “Tidaklah aku mengutus Engkau wahai Muhammad, kecuali untuk merahmati semesta alam.” (Qs. Al Anbiya’ : 107)
Tentulah bukan karena sekedar kebetulan, atau bahkan hal yang diangtgap wajar, bila ternyata Allah SWT. mengutus Nabi Muhammad SAW. dan agama yang dibawanya merupakan “Rahmat”, merupakan kasih sayang bagi semesta alam. Siapapun yang mempelajari Sirah Nabi SAW., akan dengan mudah menemukan bukti hikmah-hikmah kasih sayang Islam.
Kasih sayang bisa dengan mudah anda temui dalam kehidupan sehari-hari sang Rasul SAW. baik sebagai bapak dan suami dalam lingkungan keluarga, sebagai saudara di lingkungan handai taulan, sebagai teman di kalangan sahabat, sebagai guru diantara para murid maupun sebagai pemimpin di kalangan umat, bahkan sebagai manusia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain.
Jemaah Jum’at yang di rahmati Allah ……….
Dalam surat Al-Taubah ayat 128 Allah Ta’ala mensifati Nabi Muhammad SAW. dengan beberapa sifat yang kesemuanya merupakan penggambaran akan besarnya kasih sayang beliau, ayat itu berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Benar-benar telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri, yang terasa berat baginya penderitaan kalian, penuh perhatian terhadap kalian, dan terhadap orang-orang mukmin sangat pengasih lagi penyayang.”
Dalam ayat itu disebutkan bahwa; Rasulullah SAW. adalah orang yang “Aziezun ‘Alaihi Maa ‘Anittum”, yang merasakan betapa berat melihat penderitaan kaumnya dan “Hariesun ‘Alaikum”, yang sangat mendambakan keselamatan kaumnya; dan “Rauufur Rahiem”, pengasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman.
Penderitaan kaumnya terasa berat sekali bagi Rasulullah SAW. baik penderitaan itu dialami di dunia maupun – apalagi – di akhirat kelak. Oleh karena itu Rasulullah SAW. begitu “Hariesh” penuh perhatian, dan sangat mendambakan keselamatan kaumnya – umat manusia – jangan sampai menderita. Dan hal ini dapat dilihat dari sikap dan sepak terjang beliau dalam kehidupan dan perjuangannya : Bagaimana beliau menyantuni dan menganjurkan penyantunan terhadap kaum dhu’afa’, bagaimana beliau menegakkan dan menganjurkan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, bagaimana beliau berperangai dan menganjurkan untuk berakhlakul karimah, bagaimana beliau tak henti-hentinya melakukan dan menganjurkan “Amar Ma’ruf Nahi Mungkar”, dan seterusnya dan sebagainya.
Khusus tentang Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, bahkan menjadi ciri dan tugas Nabi, juga diharapkan menjadi ciri ummatnya, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, apabila dicermati, kiranya memang merupakan pengejawentahan dari keinginan Nabi atas keselamatan umat manusia, agar tidak menderita, yang bersumber dari dan didorong oleh kasih sayang itu pula. Bahkan, boleh jadi hanya orang yang mempunyai rasa kasih sayang dan memahami Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar hampir tidak bisa dibayangkan berjalan dan apalagi membudaya dalam masyarakat yang tidak saling menyayangi dan mengasihi. Maka tidaklah mengherankan bahwa, sebagai pemimpin, Nabi Muhammad SAW. sangat ditaati, karena dan dengan kasih sayang, bukan ditaati karena ditakuti dan dengan kebencian atau keterpaksaan.
Jadi kasih sayang Allah yang mewujud di dalam firman – Nya, perintah dan larangan – Nya, dalam semua ajaran – Nya Nabilah yang membawanya – melalui kepribadiannnya yang pengasih dan penyayang ke dalam kehidupan umat manusia, atau boleh juga dikatakan; apabila Islam merupakan kasih sayang Allah, maka Nabi Muhammad SAW. merupakan “bentuk kongkrit” dari Islam itu sendiri.
Warga binaan yg berbahagia …….
Sangat menarik untuk kita cermati sebuah kisah penuh hikmah; ketika Sayyidaatinaa Aisyah ra. ditanya tentang suaminya Nabi Muhammad SAW. jawabannya sungguh supel dan fleksibel. “Kaana Khuluquhu Al Qur’an.” (Pekertinya adalah Al Qur’an). Benar-benar cekak aos, singkat tapi penuh makna. Jawaban ini, juga membuktikan tingkat pemahaman yang luar biasa dari putri sahabat Abu Bakar itu terhadap Al Qur’an dan pribadi Nabi Muhammad SAW. maklum dia adalah murid sekaligus istri kinasih Nabi.
Lebih kongkritnya; semua anjuran, perintah dan perilaku terpuji dalam Al Qur’an seperti : Taqwa, amal saleh, menegakkan kebenaran, memerangi kelaliman, membela kaum lemah, adil, berbudi, jujur, berkata benar, amar ma’ruf nahi mungkar dan seterusnya. Nabi Muhammad lah yang pertama-tama secara Istiqomah melaksanakannya. Dan, semua larangan, pantangan, dan hal-hal buruk yang dikecam Al Qur’an seperti syirik, mengkufuri nikmat, membunuh, mencuri, zina, kikir, dengki, tamak, serakah, berdusta, menghina sesama, dan hal-hal lain yang merendahkan martabat kemanusiaan. Nabi Muhammadlah yang pertama-tama dan secara istiqomah menjauhinya.
Maka tidaklah aneh, apabila kemudian sebagai pemimpin, Nabi Muhammad SAW. begitu ditaati dengan sebab kasih sayangnya, bukan karena terpaksa. Mengapa demikian ? Sebagai pemimpin beliau menganjurkan, tapi sekaligus mencontohkan pengamalan anjurannya. Beliau yang melarang dan mencontohkan menjauhi larangannya. Sudah sedemikiankah sikap para tokoh agama dan pemimpin kita ? bila jawabannya belum, janganlah berharap banyak atas terwujudnya “ketaatan” dari yang dipimpinnya.
Pada waktu perang Khondak misalnya, kesediaan para sahabat sekalipun dalam keadaan yang sulit, lapar dan dahaga, dibawah terik matahari, mereka menggali parit atas perintah nabi, dengan penuh semangat. Ini tentu juga disebabkan oleh karena sang pemimpin tidak sekedar memerintah, melainkan ikut bahkan mengawali, mencontohkan bahkan ikut membantu pelaksanaan perintahnya itu.
Jemaah Jum’at yang di muliakan Allah ……
Dalam masalah ibadah, nabi Muhammad Saw juga senantiasa menjaga agar umatnya tidak merasa terberati dan menganjurkan agar tidak memberatkan mereka. Nabi yang suka dan dalam rangka menganjurkan – menyikat gigi misalnya, beliau bersabda dengan ungkapan :
لولا ان أشقّ على امّتى لأ مرتهم بالسّواك عند كلّ صلاة
Artinya : “Seandainya Aku tidak khawatir memberatkan umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka menyikat gigi setiap kali hendak melakukan sholat”.
“Shalat malam” kita ketahui merupakan ibadah rutin Nabi Muhammad Saw di malam hari. Mula-mula nabi melakukannya di Masjid, namun ketika banyak orang mengikuti jejaknya, beberapa malam kemudian nabi tidak keluar lagi melakukan sholat malam ke masjid. Menurut hadits shahih, ini dikarenakan Nabi khawatir shalat itu menjadi wajib dan memberatkan. Ketika Mu’ad Bin Jabal seorang sahabat dekat Nabi, dilaporkan terlalu panjang membaca bacaan-bacaan shalat saat menjadi imam, nabi Muhammad “memarahinya”. “dibelakangmu terdapat orang tua, dan orang-orang yang mempunyai keperluan”, sabda Nabi Muhammad memberi penjelasan. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain yang dapat anda baca dalam “shirah” sejarah perjalanan hidup nabi Muhammad Saw.
Dan anda tentu pernah mendengar sabda Nabi Muhammad yang luar biasa ini : “Barang siapa meninggal dan meninggalkan warisan, maka ahli warisnyalah yang berhak atas warisan itu, namun bila menanggung hutang, akulah yang menanggungnya”.
Juga sabda nabi Muhammad : “Yassiru walaa tu’assiruu”
Artinya : “Buat mudahlah kalian, dan jangan mempersulit”.
Hadits-hadits ini lebih memperjelas betapa Nabi Muhammad Saw memang tidak suka memberatkan dan membebani umatnya.
Pada ayat lain yang ditujukan kepada Nabi, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya ; QS. Ali – Imran :159 :
Artinya : “Maka dengan rahmat dari Allah, engkaupun lemah lembut terhadap mereka – umatku. Sekiranya engkau keras dan berhati kasar, niscaya mereka akan lari dari padamu. Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka. Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini (urusan perjuangan dan urusan duniawi lainnya). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekadmu maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya”.
Nah, apabila ayat-ayat Al-Qur’an di atas, dan beberapa hadits yang mendukungnya kita gabung, kita akan memdapatkan “Profil Pribadi Pemimpin Yang Agung” yang bercirikan : tidak tahan melihat penderitaan umatnya, sangat menginginkan keselamatan dan kebahagiaan ummatnya, sangat mengasihi dan menyayangi umatnya, lemah lembut kepada umatnya, mau bermusyawarah dan bertawakkal kepada Allah SWT. setelah membulatkan tekadnya.
Dari kepribadian Rasulillah Saw. inilah, bagi para pewarisnya, dan kaum muslimin yang beriman diharapkan dapat meneruskan membawa kasih sayang illahi itu, kepada semesta alam. Bukankah Allah sendiri berfirman kepada Nabi Muhammad SAW :
Artinya : “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah jejakku; niscaya Allah mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imran : 31)
Maha Benar Allah dengan segala firmannya. Wallohu a’lam
بَارَكَ الله ُ لِى وَ لَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ وَنَفَعَنِى وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الاّ َيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ، فَاسْتَغْفِرُ الله َالْعَظِيْمَ لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
الخطبة الثانية
اِنَّ الحَمْدَللهِ حَمدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ فَانْتَهُوا عَمَّا نَهَى عَنْهُ وَحَذَّرَ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله الوَاحِدُ القَهَارُ، وَاَشْهَدُ اَنَّ محَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
قَالَ الله ُ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: إنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَا.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا محَمَّدٌ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا محَمَّدٌ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا محَمَّدٌ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا محَمَّدٌ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ. إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالاَمْوَاتِ. اللَّهُمَّ نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى. رَبَّنَا هَبْلَنَا مِنْ أَزْوَجِنَا وَزُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلمُتَّقِيْنَ إِمَامًا. رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الاَبْرَارِ. رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.عِبَادَالله : إِنَّ اللهَ يَأمُرُكُمْ بِالعَدلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآئِ ذِى القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَآءِ وَالمُنْكَرِ وَالبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا الله َ العَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُهَ مِنْ فِضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُاللهِ أَكْبَرُ.